Mengajar itu bukan hanya tentang teks,
tapi juga pengalaman hidup. Seperti dosen saya yang satu ini. di setiap
pertemuan, materi kuliah yang beliau sampaikan tidak pernah lepas dari
pengalaman pribadinya. Entah baik atau buruk, selama masih berhubungan dengan
bahasan yang diajarkan, tak segan-segan beliau menguraikan apa yang pernah
beliau rasakan.
Sebenarnya beliau tidak dengan sengaja
menguraikan hal tersebut, terkadang hanya karena beberapa kata yang menyangkut
tentang suatu hal beliau jadi tertarik untuk membahasnya. Pembahasan yang
dilakukan justru lebih mendalam dan lebih eksklusif dari materi kuliah yang
sebenarnya.Tak jarang pula cerita yang disampaikan adalah cerita yang entah
sudah berapa kali disampaikan. Sehingga banyak dari teman-teman sekelas yang
sampai hafal alur yang akan disampaikan bapak dosen, haha. Lucu juga sih, cukup
menghibur saat suasana bosan dan kantuk mulai berdatangan.
Seperti halnya hari ini, kelas yang tak
lagi seperti kelas. ketika pak dosen sedang menerangkan tentang “karya ilmiah”,
terlihat teman-teman tak berbeda dengan saya, bahkan lebih parah. Ada yang
tidur, ngobrol, main laptop, hingga membuka panti pijat (eh..).
Di tengah penjelasan beliau yang semakin
membosankan dan mengantukkan, saya tersadar dan tergugah dengan pembahasan
beliau yang menarik. Entah dari bahasan apa, tiba-tiba beliau menyampaikan
tentang pentingnya bermusyawarah. Baik dalam lingkup formal maupun nonformal,
seperti keluarga.
Dalam sebuah keluarga, sangat dibutuhkan
adanya keharmonisan. Sifat harmonis ini pun dapat diciptakan dengan berbagai
hal, misalnya dengan memberikan kesempatan kepada seluruh anggota keluarga
untuk beraspirasi dalam setiap pengambilan keputusan.
Seperti yang disampaikan sang dosen, dalam
keluarga tidak diperbolehkan menganggap apa yang dimilikinya adalah haknya
secara penuh. Meskipun cara mendapatkannya adalah dari jerih payahnya, tidak
menutup kemungkinan anggota keluarga yang lain dapat turut andil dalam
pengambilan keputusan mengenai hal tersebut.
Pengambilan keputusan secara sepihak dapat
mengakibatkan krisis eksistensi di antara anggota keluarga. Akibatnya anggota
keluarga sering merasa diabaikan dan dinafikan hak-haknya dalam lingkup
tersebut. Tak jarang pula terjadi cek cok yang berkelanjutan akibat hal sepele
karena merasa tidak dianggap atau menganggap keputusan yang telah diambil
secara sepihak tidak bermanfaat.
Keluarga adalah lingkup terkecil dalam
masyarakat, tentu masalah yang hinggap tak serumit masalah yang ada di luar.
Tahap pembelajaran yang paling mengena dan paling efektif pun ada di lingkup
keluarga. Indikasinya, jika kita mampu menyelesaikan masalah dalam keluarga,
kemungkinan untuk mampu bersaing di masyarakat semakin tinggi.
Begitulah yang saya tangkap dari
pembahasan “tak sengaja” oleh beliau. Kuliah yang membosankan tidak selamanya
nihil informasi dan pengetahuan. Kebosanan adalah titik terkecil dari sebuah
pengalaman, tentunya penalaran dan logika harus dipakai dengan seksama pula.
Sehingga kita tidak terjatuh di jurang kehancuran yang kita buat bersama
kebosanan kita.
Maksudnya, kebosanan kita tidak serta
merta dijadikan sebagai monster besar yang menjadikan kita tidak antusias
dengan keadaan. Beberapa hal menarik yang sepertinya tidak berarti terkadang
bisa menjadi magnet besar untuk menjadikan kita lebih tertantang untuk semakin
maju. Kecuali jika Anda memang sudah terpuruk terlalu jauh.
Ah, tak ada keterpurukan yang abadi. Tuhan
menjadikan manusia dengan problem dan solvernya, itu pasti. Jadi, jika
Anda tetap terpuruk dengan keadaan Anda, diskusikan dengan orang terdekat Anda.
Semoga lekas mendapatkan pencerahan. Amin.
Demikian coretan saya kali ini, dari
kuliah yang membosankan hingga diskusi keluarga dan keberanian untuk terjun di
masyarakat. Day tunggu komentarnya di bawah. Janagn lupa satan dan kritiknya.
Day
0 comments:
Posting Komentar