senin pagi ,,, cemunguuuudddth



Good morning, hari ini hari pertama kuliah yah.. em,,, kembali lagi ke rutinitas yang penuh dengan kertas-kertas dengan garis-garis lengkung di permukaannya. Hhah, lebay amat.. padahal  Cuma kertas yang ada tulisannya doang. But, whatever is it, it will be benefit for our future.
yap, satu minggu ini mungkin akan lebih banyak membahas tentang mufrodat-mufrodat bahasa arab. Tapi kali ini aku mau nge-review beberapa tambahan materi yang minggu kemaren dikasih sama miss Putri,, yah itung-itung sambil buat catetan deh. Biar ga ilang, hhe check this out!!!


Prepositions are small words such as "with" and "into" that themselves are difficult to define in words. Suffice it to say that prepositions create a relationship between other words in a sentence by linking phrases to the rest of the sentence. 
Jadi, Preposisi adalah kata-kata singkat seperti "with” (dengan) dan "into” (menjadi)" yang sulit untuk didefinisikan. Dapat pula disebutkan bahwa preposisi dapat menciptakan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam sebuah kalimat dengan menghubungkan frase yang ada di dalamnya.

PREPOSISI ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.     Loose preposition
Yaitu preposisi (kata depan) yang penggunaannya tidak terikat twtap oleh kata yang diikuti atau yang mengikuti, penggunaannya tergantung pada arti preposisi itu sendiri.
Example:         walk into    : berjalan masuk ke
              Walk in                : berjalan di
              Walk out     : berjalan keluar
              Walk toward        : berjalan menuju ke
               Walk along : berjalan sepanjang
Berikut beberapa loose preposition:
About    : kira-kira             among         : di antara
Above    : diatas                           amid  : di antara  
Accross  : menyeberang                around        : sekitar               
After      : setelah

(sebenernya masih banyak lagi, nanti aku tambah lagi .. J)
              
2.     Fixed preposition
Yaitu preposisi yang tetap pemakaiannya dengan kata-kata tertentu yang selalu tetap penggunaannya.
Example:         the father got angry with their own children.
              Dewi listens those men are talking ‘bout reproduction.
              Sinta listens to her boyfriend whom says that she will belong to him.
*   Fixed preposition adalah bentuk preposisi yang sudah disatukan dengan verb. Sedangan loose preposition adalah bentuk simple dari fixed preposition yang tidak bisa berdiri sendiri.

Adalah suatu penjelas yang menerangkan kata benda didepannya. Terlaetak setelah noun, sebelum verb atau to be yang menerangkan noun.
Example:    Indonesia, a tropical country in the equator, has only two seasons.
Fatin, a beatiful sixteenth girl, obsessed to be a winner on X Factor Indonesia

Sekian dulu yeee,, selamat membaca dan semoga bermanfaat. Mau ngampus dulu, hari pertama booo... bye bye.


Tau gak kenapa langit berwarna biru??? Klik disini. 

KAIDAH-KAIDAH PEMAHAMAN HADITS



I.         PENDAHULUAN
            Problem pemahaman HaditsNabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal tersebut berangkat dari realitas hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al Quranyang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al Quran. Pemahaman terhadap al Quranharuslah diketahui tentang asbabun nuzul (sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al Quran). Hal tersebut mengingat bahwa al Quranbersifat universal dan abadi sehingga ia tidak berkepentinagan untuk membicarakan hal-hal yang detail atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu.
            Lain halnya dengan hadits,  sebab ia memang menangani pelbagai problem yang bersifat lokal (maudli’iy), partikular(juz’iy) dan temporal(‘aniy). Didalamnya juga terdapat berbagai hal yang bersifat khusus dan terperinci, yang tidak terdapat dalam al Quran. Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan umum, yang sementara dan abadi, serta antara yang partikular dan yang universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing.Dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbabunnuzul dan asbabul wurud, pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.
Perkembangan pemikiran terhadap hadits tidak sesemarak yang terjadi dalam pemikiran terhadap al Quran. Namun, persoalan yang mengemukakan dari sisi eksternal berangkat dari penyorotan terhadap figur Muhammad, sebagai figur sentral. Sebagai Nabi akhiruzzaman, otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku bagi umat islam dipelbagai tempat dan masa sampai akhiruzzaman.Sementara hadits itu sendiri turun dalam kitaran tempat yang dijelajahi Rasulullah dan dalam sosio-kul-tural masa Rasulullah. Disamping itu tidak semua Sunnah Nabi secara eksplisit memiliki asbabul waurud yang menjadikan ketidak jelasan status hadits apakah bersifat umum ataukah khusus. Dengan melihat kondisi yang melatar belakangi munculnya hadits, sebuah hadits terkadang dipahami secara tekstual dan terkadang secara kontekstual.
Berpijak pada pentingnya memahami Hadits Nabi, marilah kita simak makalah tentang metode pemahaman hadits berikut ini.
II.  RUMUSAN MASALAH

A.       Sejarah dan Klasifikasi Pemahaman Hadits Nabi
B.       KetentuanDalam Memahami HaditsNabi
C.       Metode Kontemporer Pemahaman Hadits Nabi






III.      PEMBAHASAN

A.       Sejarah dan Klasifikasi Pemahaman Hadits Nabi
Pemahaman hadits [1]merupakan bagian dari kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadits. Kritik hadits[2]atau naqd al-hadits atau penelitian hadits Nabi terdiri dari kritik sanad atau naqd al -khoriji atau kritik ekstern dan kritik matan atau kritik intern atau naqd al-dakhili. Kritik hadits sebenarnya telah terjadi sejak masa nabi. Kritik sebagai upaya membedakan informasi yang benar dan yang salah pada masa nabi lahir dalam bentuk konfirmasi sahabat kepada nabi atau kepada sahabat lainnya.
Dikalangan sahabat sendiri telah muncul beberapa sahabat yang sangat kritis dalam menerim hadits diantaranya Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Tholib, Aisyah bbinti Abi Bakar al-Shidiq, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah bin Umar, Zainab istri Ibnu Mas’ud dan lain-lain.[3] Namun seiring dengan perjalanan waktu, dengan wafatnya Nabi, secara otomatis segala persoalan harus mereka tangani sendiri dan kritik hadits pun mulai dilakukan secara intensif ketika umat islam bergesekan dengan problem politik.
Kondisi politik yang memanas pada masa-masa akhir khulafa al-Rosyidin menyebabakan terjadinya manipulasi berita yang disandarkan kepada Nabi untuk kepentinagan Nabi dan golongan. Oleh karena itu untuk menjaga kemuurnian dan memelihara kebenaran hadits maka muncul sejumlah pakar yang dengan gigih membendung segala upaya pemalsuan dan penyebarluasan informasi yang disandarkan kepada Nabi.
Seiring dengan semakin luasnya daerah islam dan tersebarnya sahabat Nabi keberbagai kota, kemudian diikuti oleh para Tabi’in maka penyebar haditspun semakin luas.Sehingga sejak abad ke-2 Hijriyah hingga beberapa abad setelahnya, para ulama semakin giat dalam upaya mengadakan penyeleksian terhadap hadits hingga melahirkan sejumlah karya dalam bentuk teori dan metodologi ilmu hadits.
Selanjutnya, dalam memahami hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni: (1) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadits disebut dengan ahlu al hadits, tekstualis, (2) kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada dibelakang teks disebut ahl al-ra’yi, kontekstualis.
Ahl alhadits telah muncul sejak generasi sahabat[4], dengan beragai soal kehidupan yang begitu kompleks. Kelompok ini berpegang kepada arti lahiriah nash, karena dalam pandangan mereka, kebenaran al Quranbersifat mutlak, sedangkan rasio adalah nisbi. Ahl al-haditsjuga mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada disekeliling teks. Dalam kultur yang relatif dekat dengan Nabi, dampak yang ditimbulkan belum begitu kelihatan karena perubahan yang signifikan dalam budaya dan gesekan antara kebudayaan lokal dan luar belun terasa. Namun ketika hadits telah melintasi banyak generasi dan lintas kultural serta berhadapan dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan mengimbas kepada semakin kompleksnya perkembanagna hidup.
Sedangkan Ahl al-ra’yi, kelompok ini memahami persoalan secara rasioal dengan tetap berpegang pada nash alQuran dan hadits. Oleh karenanya, tidak jarang mereka mengorbankan hadits ahad yang bertentangan dengan al Quran.[5] Argumentasi kelompok yang menjustifikasi pendekatan rasional ini adalahhadits masyhur yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabar ketika dia diutus Nabi ke Yaman.
Perseteruan antara ahl al-haditsdan ahl a-ra’yi menjadi salah satu fenomena dikotomi antara ‘aql dan naql, antara falsafat dan agama, atau antara taklid dan kreatifitas. Perselisihan antara ahl al-hadits dan ahl a-ra’yi ini diwarnai dengan saling membenci dan saling mencemooh anatara kelompok pertama dan kelompok kedua.[6]
Dalam wacana fiqih, istilah ahl al-hadits merujuk pada madzhab Hanbali, yang berpandangan bahwa segala hal harus dirujuk pada teks yang ada, sedangkan kelompok ahl a-ra’yi mengacu pada madzhab Hanafi. Dalam perkembangan lebih lanjut ahl al-ra’yi digolongkan sebagai kelompok yang memiliki semangat pembaruan. Kelompok ini mengakui eksistensi akal pikiran sebagai perangkat yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan hukum dam etika. Sekalipun ahl al-Ra’yi mengakui eksistensi akal, namun pemanfaatan akal tidaklah semaksimal  para filosof.Oleh karena rasionalitas ahl al-ra’yi dalam penggunaan akal hanya sampai pada tahap justifikasi saja. Sekalipun demikian kelompok ini dibanding ahl al-hadits lebih memiliki semangat pembaruan.

B.       Ketentuan Dalam Memahami HaditsNabi
Dalam memahami hadits ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi diantaranya yaitu:
1.    Memahami As Hadits Sesuai Petunjuk Al Quran
Untuk dapat memhami as Hadits dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk, maka kita haruslah memahaminya sesuai dengan petunjuk al Quran, yaitu, dalam kerangka bimbingan llahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Sesuai dengan surat Al-an’am ayat 115:

ÙˆَتَÙ…َّتْ ÙƒَÙ„ِÙ…َØ©ُ رَبِّÙƒَ صِدْÙ‚ًا Ùˆَعَدْلا لا Ù…ُبَدِّÙ„َ Ù„ِÙƒَÙ„ِÙ…َاتِÙ‡ِ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ السَّÙ…ِيعُ الْعَÙ„ِيمُ

Yang artinya: ”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Jelaslah bahwa al Quranadalah ruh dari eksistensi islam, dan merupakan asa bangunanaya, sedangkan hadits adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara ptaktis. Itulah tugas Rasulullah SAW. ; “menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan pada mereka”.
Oleh sebab itu tidaklah mungkin suatu yang merupakan pemberi penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan itu sendiri. Maka penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW selalu dan senantiasa berkisar diseputar al Qurandan tidak mungkin akan melanggarnya.[7]

2.      Menghimpun Hadits-Hadits Yang Terjalin Dalam Tema Yang Sama
Untuk berhasil memahami hadits secara benar kita harus menghimpun hadits shohih yang berkaitan dengan satu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak dengan yang muqoyyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khosh. Dengan cara itu dapatlah dimengetri maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadits satu dan lainnya.[8]
3.       Penggabungan Atau Pentarjihan Antara Hadits-Hadits Yang Bertentangan
Pada dasarnya nash-nashsyari’ah tidak mungkin saling bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya tampak dalam luarnya saja, bukan pada kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu kita wajib menghilangkannya dengan jalan seperti berikut:
a.          Penggabungan didahulukan sebagai pentarjihan.
Memahami hadits dengan baik termasuk hal yang sangat penting,yaitu dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadits shohih yang redaksinya tampak solah-olah bertentangan, demikian pula makna kandungannya yang tampak berbeda. Cara yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan semua hadits dan kemudian dinilai secara proporsional sehingga dapat dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling bertentangan. [9]
b.         Naskh dalam hadits
Diantara persoalan kandungan hadits yang dianggap saling bertentangan adalah persoalan naskh (penghapusan) atau adanya hadits yang nasikh (yang menghapus suatu ketentuan) dan yang mansukh (yang terhapus berklakunya). Persoalan naskh ini, ada hubungannya dengan ilmu-ilmu al Quransebagaimana ada hubungannya juga dengan ilmu hadits, namun dakwaan tentang adanya naskh dalam hadits tidak sebesar yang didakwahkan didalam alquran. Apabila diteliti lebih jauh hadits-hadits yang diasumsikan sebagai mansukh tidaklah demikian. Hal ini mengingat bahwa diantara hadits-hadits ada yang dimaksudkan sebagai ‘azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun secara berat), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai rukhsoh (peluang untuk memilih yang lebih ringan pada suatu ketentuan). Dan karena itu, kedua-duanya mengandung kadar ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing.[10]

4.      Memahami Hadits Sesuai Dengan Latar Belakang, Sitiuasi Dan Kondisi Serta Tujuannya
Untuk dapat memahami hadits nabi dapat dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadits, atau terkait dengan suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam hadits tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.[11] Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemilihan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yamg sementara dan abadi, serta antara yang partikular dan yang universal yang masing-masing mempunyai hukum tersendiri.[12]
Sesuai dengan kaidah “suatu hukum berjalan dengan illahnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”, sehingga apabila kondisi telah berubah dan tidak ada lagi ‘illah, maka hukum yang berkenaan dengan suatu naskh akan gugur dengan sendirinya. Begitu pula hadits yang berlandaskan suatu kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan melalui perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukan pengertian harfiahnya.[13]

5.      Membedakan Antara Sarana Yang Berubah-Ubah Dan Tujuan Yang Tetap
Diantara penyebab kekacuan dan kekeliruan dalam memahami haditsialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh as sunnah denga pra-sarana temporer atau lokal yang kadang kala menunjang pencapaian sasaran itu dituju. Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal ini merupakan hal yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang berusaha benar-benar memahami haditsserta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yamg tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.
 Setiap sarana dan prasarana mungkin saja berubah dari suatu masa  kemasa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya, bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadits menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan mengikat kita dengannya, atau membekukan diri dengannya.
Bahkan sekiranya al Quransendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu.[14]

6.      Membedakan Antara Ungkapan Haqiqat Dan Majaz
Teks-teks hadits banyak sekkali yang menggunakan majaz (kiasan atau metafora), sebab Rasul adalah orang arab yang menuasai balaghoh (retorika). Rasul menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan sangat mengesankan. Adapun yang termasukmajaz adalah majaz lughowi, ‘aqli, isti’aroh, kinayah dan berbagai ungkapanlainnya yang tidak menunujukkan makna sebenarnya secara langsung tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Menurut Yusuf Al Qaradawi, pemahaman berdasarkan majaz terkadang merupakan suatu keharusan, karena jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Untuk hadits yang tidak bisa dipahami secara tekstual, maka bisa dilakukan ta’wil terhadapnya. Upaya ta’wil harus didukung oleh suatu alasan kuat, jika tidak maka pena’wilan tersebut harus ditolak, begitu juga pena’wilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahaman hadits yang hanya sesuai dengan susunan lahiriahnya atau tekstualnya sajapunharus ditolak, jika bertentangan denhgan konklusi akal yang jelas, atau hukum syari’ah yang benar, atau pengetahuan yang pasti, atau kenyataan yang meyakinkan.[15]

7.      Membedakan Antara Alam Gaib Dengan Alam Nyata
Diantara kandungan hadits, ada beberapa hal yang berkaitan dengan alam gaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan ole allah SWT untuk melakukan tugas tertentu. Seperti dalam surat al Mudatsir ayat 31:

ÙˆَÙ…َا ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ جُÙ†ُودَ رَبِّÙƒَ Ø¥ِلا Ù‡ُÙˆَ

Yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri”.
Hal tersebut menjadi bahan pembicaraan al Quran. Namunhadits yang mulia berbicara tentangnya (alam gaib) secara lebih luas, dengan menguraikan secara terinciapa yang disebutkan al Qurandalam garis besarnya saja.[16]Seorang muslim wajib menerima hadist-hadits shohih yang mengenai alam gaib ini dan tidak dibenarkan menolaknya semata-mata karena menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau tidak sejalan dengan pengetahuan. Selama hal itu masih dalam batas kemungkinana menurut akal, walaupun dianggap mustahil menurut kebiasaan. Sikap yang benar yang diharuskan oleh logika keimanan dan tidak ditolak oleh logika akal adalah mengatakan; “kami beriman dan percaya”, setiap kali dihadapkan hal-hal gaib yang ditetapkan dalam agama. [17]

8.       Memastikan Makna Dan Konotasi Kata-Kata Dalam Hadits
Dalam memahami hadits dengan sebaik-baiknya penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadits. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya. Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk pada makna-makna tertentu pula. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam hadits (atau juga dalam al Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan dikalangan mereka saja). Disini akan timbul kerancuan dan kekeliruan.

C.   Metode Kontemporer Pemahaman Hadits Nabi
a.       Metode pemahaman hadits menurut Muhammad al-ghazali
Menurut Muhammad al-Ghazali terdapat dua kriteria yang berkaitan dengan matan, yaitu: (1) Matan hadits tidak syadz (2) matan hadits tidak mengandung ‘illah qadihah. [18]menurut beliau, untuk mempraktikkan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu kerjasama atau saling sapa antara muhadits dengan berbagai ahli di bidangnya, termasuk fuqaha’, mufassir, ahli ushul fiqh, ahli kalam dan lain-lain, mengingat materi hadits ada yang berkenaan dengan aqidah, ibadah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan dari beragai ahli.[19]
Muhammad al-ghazali tidak memberikan penjelasan langkah-langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis nabi. Namun dari berbagai pernyataannya dala buku Al Hadits Al Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, dapat ditarik kesimpulan tentang tolok ukur yang diapakai Muhammad al-Ghazali dalam kritik matan (otentisitas matan dan pemahamnan matan).
Secara garis besar metode yang digunakan oleh Muhammad al-Ghazali ada 4 macam, yaitu:
1.      Pengujian dengan alQuran
2.      Pengujian dengan hadits
3.      Pengujian dengan fakta historis
4.      Pengujian dengan kebenaran ilmiah

Ke-empat pengujian tersebut tidak serta merta dapat diterapkan secara penuh untuk semua matan hadits sehingga dapat dikategorisasikan menjadi lima, yakni:
(1)   Pengujian dengan alQuran, hadits, fakta historis, dan kebenaran ilmiah.
(2)   Pengujian dengan alQuran, fakta historis, dan kebenaran ilmiah.
(3)   Pengujian dengan hadits dan kebenaran ilmiah.
(4)   Pengujian dengan faktahistoris dan kebenaran ilmiah.
(5)   Pengujian dengan kebenaran ilmiah[20]

b.      Metode pemahaman hadits menurut yusuf al qaradhawi
Menurut Yusuf al Qaradhawi, hadits nabi mempunyai tiga karaktristik, yaitu komprehensif (manhaj syumuli)[21], seimbang (manhaj mutawazin)[22] dan memudahkan (manhaj muyassar).[23] Ketiga karakteristik tersebut akan mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatuhadits.
Atas dasar tersebut, maka ada tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan hadits yaitu (1) penyimpangan kaum ekstrem yang berlebihan dalam urusan agama, (2) manipulasi orang-orang sesat, (3) penafsiran orang-orang bodoh. Oleh sebab itu, pemahamna yang tepat terhadap hadits adalah mengambil sikap moderat atauwasthiyyah  yaitu tidak seperti jalan kelompok ekstrem, kelompok sesat, dan kelompok bodoh.
Maka dari iu, dibutuhkan tiga prinsip dasar yang harus ditempuh ketika berinteraksi dengan hadits untuk merealisasikan metode tengah-tengah, yaitu:
1.      Meneliti keshohihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat dipercaya, baik sanad maupun matannya.
2.      Memahami hadits sesuai dengan pengertian bahasa dan asbab al wurud teks hadits untuk menemukan makna suatu hadits yang sesungguhnya.
3.      Memastikan bahwa hadits yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash lain yang lebih kuat. [24]
 Untuk melaksanakan prinip-prinsip dasar diatas, maka Yusuf al qaradhawi mengemukakan delapan kriteria dalam memahami hadits:
a)      Memahami hadits sesaui denagn petunjuk alQuran
b)      Menghimpun hadits-hadits yang setema
c)      Kompromi atau tarjih terhadap hadts-hadits yang kontradiktif
d)     Memahami hadits sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisiserta tujuannya
e)      Mebedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
f)       Membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz
g)      Membedakan antar yang gaib dan yang nyata
h)      Memastikan makna kata-kata dalam hadits.

IV.             KESIMPULAN

Sejarah pemahaman hadis telah dimulai sejak zaman Nabi muhammad SAW., bahkan dikalangan sahabat sendiri telah muncul beberapa sahabat yang sangat kritis dalam menerimahadits diantaranya Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Tholib dan lain-lain. Namun seiring perjalanan waktu, dengan wafatnya Nabi, secara otomatis segala persoalan harus mereka tangani sendiri dan kritik hadits pun mulai dilakukan secara intensif ketika umat islam bergesekan dengan problem politik.
Dalam memahami hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni: (1 ) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadits disebut dengan ahlu al hadits, tekstualis, (2) kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada dibelakang teks disebut ahl al-ra’yi, kontekstualis.
Muhammad al-Ghazali dalam memahami hadits menekankan akan perlunya kerjasama atau saling sapa antara muhadits dengan berbagai ahli di bidanganyadikarenakan materi hadits yang juga berkenaan bidang lainnya. Selain itu, beliau juga menawarkan beberapa metode pemahan hadits yang dapat diterapkan sesuai kategori masing-masing.
Berdasarkan hadits nabi yang memiliki tiga karakteristik untuk menunjang pemahamn hadits secara utuh, Yusuf al qaradhawi juga memberikan konsep tentang metode pemahaman hadits guna membangun sikap wasthiyyah agar terhindar dari kelompok ekstrem, kelompok sesat, dan kelompok bodoh. Diantaranya yaitu, Memahami hadits sesuai dengan petunjuk alQuran, menghimpun hadits-hadits yang setema, kompromi atau tarjih terhadap hadts-hadits yang kontrdiktif dan lain sebagainya.

V.                PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.








DAFTAR PUSTAKA

Al Quran Al Karim
‘Abd al-Raziq,Musthafa,Tahmid Li-Tarikh Al-Islamiyyah Kairo: Lajnah Wa Al-Tarjamah Wa Nashr, 1959
Al Qaradhawi,Yusuf,Kaifa Nata’ammalu Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Ma’alim Wa Dhawabith, USA: Al-Ma’had Al-‘Alami Li Al-Fikr Al-Islami, 1990
Al-Beqir, Muhammad, Bagaimana Memahami Hadist Nabi Saw Terjemahan Kaifa Nata’ammalu Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Bandung: Penerbit Karisma, 1993
al-Ghazali,Muhammad,Al Sunnah Al Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, Kairo: Dar Al-Syuruq, 1989
Azami, M.M, Studies In Hadith Metodologi And Literatur, USA: American Trust Publication, 1977
Makluf,  Louis, Al-Munjid Fi Al—Lughoh Al-A’lam Beirut: Dar Almasyriq, 1986
Poerwodarinto, WJS., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Suryadi , Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi, cet I, Yogyakarta: Teras, 2008





[1] Dalam bahasa arab sering disebut dengan fahm alhadist atau fiqh alhadist. Menurut kamus bahasa arab kata fahm sinonim dengan kata fiqh, yang artinya memahami, mengerti atau mengetahui (‘alima, ‘arafa, dan adroka). Lih. Louis makluf, Al-Munjid Fi Al—Lughoh Al-A’lam (Beirut: dar almasyriq, 1986), hlm 591 dan 598.
[2] Dalam bahasa indonesia kata kritik mengandung arti pemisahan sesuatu yang bernilai baik dengan sesuatu yang buruk lih. WJS. Poerwodarinto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta, balai pustaka, 1989), hlm. 534.
[3] M. M. AZami, Studies In Hadith Metodologi And Literatur, (USA: American Trust Publication, 1977), hlm. 48.
[4] Diantara sahabat yang termasuk kelompok tekstualis adalah Bilal, Abd al-Rahman bun Auf dan al-Zubair.
[5] Musthafa ‘Abd al-Raziq, Tahmid Li-Tarikh Al-Islamiyyah (kairo: lajanah wa al-tarjamah wa Nashr, 1959), hlm. 206.
[6] DR. Suryadi, M. Ag, Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi, (yogyakarta: teras, 2008), cet I, hlm. 67-77.
[7] Muhammad Al-Beqir, Bagaimana Memahami Hadist Nabi Saw (Terjemahan Kaifa Nata’ammalu Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah), (Bandung: penerbit karisma, 1993), cet I,hlm. 92-93.
[8] Ibid, hlm. 106
[9]Ibid, hlm 118
[10]Ibid, hlm. 128-129
[11] Yusuf Al Qaradhawi, Kaifa Nata’ammalu Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Ma’alim Wa Dhawabith,(USA: Al-Ma’had Al-‘Alami Li Al-Fikr Al-Islami, 1990), hlm. 125.
[12]Ibid, hlm. 132.
[13]Ibid.
[14] Muhammad Al-Beqir, Op. Cit., hlm 148-149.
[15] DR. Suryadi, M. Ag, Op. Cit.,hlm. 175-176.
[16]Ibid, hlm. 188-189.
[17]Ibid, hlm. 184-185.
[18] Muhammad al-Ghazali, Al Sunnah Al Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1989), cet. I, hlm. 18-19.
[19]Ibid., hlm. 19-21.
[20] DR. Suryadi, M.A, Op. Cit., hlm. 78-87.
[21] Manhaj sunnah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dandapat diterapkan di semua tempat dan zaman. Lih. Yusuuf l-qaradhawi, Op Cit, hlm. 23-24
[22]Manhaj sunnah mempertimangakn keseimbangan antara tubuh dan jiwa, akal dan kalbu, dunia dan akhirat, ideal dan realitas, teori dan praktek, alam gaib dan kasat mata, kebebasan dan tanggungjawab, kebutuhan individu dan masyarakat, ittiba’ dan ibtida’, dan seterusnya. Ibid; hlm. 24.
[23] Sunnah bersifat memudahkan, karena manhaj terlihat pada kandungannya yang tidak memberikan beban yang tidak semestinya. Ibid; hlm. 25.
[24]Op.Cit.., hlm. 33-34.             

                           

Fun Running #HitsWithoutViolence 2013
Hosting Gratis

Total Pageviews

Ad Space

Ad Space

Blogger news

Hosting Gratis
Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

search here