I.
PENDAHULUAN
Problem pemahaman HaditsNabi
merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal tersebut berangkat
dari realitas hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al Quranyang
dalam banyak aspeknya berbeda dengan al Quran. Pemahaman terhadap al Quranharuslah
diketahui tentang asbabun nuzul (sebab-sebab yang melatar belakangi
turunnya ayat-ayat al Quran). Hal tersebut mengingat bahwa al Quranbersifat
universal dan abadi sehingga ia tidak berkepentinagan untuk membicarakan
hal-hal yang detail atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu.
Lain halnya dengan
hadits, sebab ia memang menangani pelbagai
problem yang bersifat lokal (maudli’iy), partikular(juz’iy) dan
temporal(‘aniy). Didalamnya juga terdapat berbagai hal yang bersifat
khusus dan terperinci, yang tidak terdapat dalam al Quran. Oleh sebab itu,
haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan umum, yang
sementara dan abadi, serta antara yang partikular dan yang universal. Semua itu
mempunyai hukumnya masing-masing.Dan dengan memperhatikan konteks, kondisi
lingkungan serta asbabunnuzul dan asbabul wurud, pasti akan lebih
mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.
Perkembangan pemikiran terhadap hadits
tidak sesemarak yang terjadi dalam pemikiran terhadap al Quran. Namun, persoalan
yang mengemukakan dari sisi eksternal berangkat dari penyorotan terhadap figur
Muhammad, sebagai figur sentral. Sebagai Nabi akhiruzzaman, otomatis ajaran-ajaran
beliau berlaku bagi umat islam dipelbagai tempat dan masa sampai akhiruzzaman.Sementara
hadits itu sendiri turun dalam kitaran tempat yang dijelajahi Rasulullah dan
dalam sosio-kul-tural masa Rasulullah. Disamping itu tidak semua Sunnah Nabi
secara eksplisit memiliki asbabul waurud yang menjadikan ketidak jelasan status
hadits apakah bersifat umum ataukah khusus. Dengan melihat kondisi yang melatar
belakangi munculnya hadits, sebuah hadits terkadang dipahami secara tekstual
dan terkadang secara kontekstual.
Berpijak pada pentingnya memahami Hadits
Nabi, marilah kita simak makalah tentang metode pemahaman hadits berikut ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Sejarah
dan Klasifikasi Pemahaman Hadits Nabi
B.
KetentuanDalam
Memahami HaditsNabi
C.
Metode
Kontemporer Pemahaman Hadits Nabi
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan Klasifikasi Pemahaman Hadits Nabi
Pemahaman hadits merupakan
bagian dari kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadits.
Kritik haditsatau naqd
al-hadits atau penelitian hadits Nabi terdiri dari kritik sanad atau naqd
al -khoriji atau kritik ekstern dan kritik matan atau kritik intern atau naqd
al-dakhili. Kritik hadits sebenarnya telah terjadi sejak masa nabi. Kritik
sebagai upaya membedakan informasi yang benar dan yang salah pada masa nabi
lahir dalam bentuk konfirmasi sahabat kepada nabi atau kepada sahabat lainnya.
Dikalangan sahabat sendiri telah muncul beberapa sahabat yang
sangat kritis dalam menerim hadits diantaranya Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin
al-Khattab, Ali bin Abi Tholib, Aisyah bbinti Abi Bakar al-Shidiq, Ubai bin
Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah bin Umar, Zainab istri Ibnu Mas’ud dan
lain-lain.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, dengan wafatnya Nabi, secara otomatis
segala persoalan harus mereka tangani sendiri dan kritik hadits pun mulai
dilakukan secara intensif ketika umat islam bergesekan dengan problem politik.
Kondisi politik yang memanas pada masa-masa akhir khulafa
al-Rosyidin menyebabakan terjadinya manipulasi berita yang disandarkan kepada
Nabi untuk kepentinagan Nabi dan golongan. Oleh karena itu untuk menjaga
kemuurnian dan memelihara kebenaran hadits maka muncul sejumlah pakar yang
dengan gigih membendung segala upaya pemalsuan dan penyebarluasan informasi
yang disandarkan kepada Nabi.
Seiring dengan semakin luasnya daerah islam dan tersebarnya sahabat
Nabi keberbagai kota, kemudian diikuti oleh para Tabi’in maka penyebar haditspun
semakin luas.Sehingga sejak abad ke-2 Hijriyah hingga beberapa abad setelahnya,
para ulama semakin giat dalam upaya mengadakan penyeleksian terhadap hadits
hingga melahirkan sejumlah karya dalam bentuk teori dan metodologi ilmu hadits.
Selanjutnya, dalam memahami hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yakni: (1) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadits disebut
dengan ahlu al hadits, tekstualis, (2) kelompok yang mengembangkan
penalaran terhadap faktor-faktor yang berada dibelakang teks disebut ahl
al-ra’yi, kontekstualis.
Ahl alhadits telah muncul
sejak generasi sahabat,
dengan beragai soal kehidupan yang begitu kompleks. Kelompok ini berpegang
kepada arti lahiriah nash, karena dalam pandangan mereka, kebenaran al Quranbersifat
mutlak, sedangkan rasio adalah nisbi. Ahl al-haditsjuga
mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada disekeliling teks. Dalam kultur
yang relatif dekat dengan Nabi, dampak yang ditimbulkan belum begitu kelihatan
karena perubahan yang signifikan dalam budaya dan gesekan antara kebudayaan
lokal dan luar belun terasa. Namun ketika hadits telah melintasi banyak generasi
dan lintas kultural serta berhadapan dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan
mengimbas kepada semakin kompleksnya perkembanagna hidup.
Sedangkan Ahl al-ra’yi, kelompok ini memahami persoalan
secara rasioal dengan tetap berpegang pada nash alQuran dan hadits. Oleh
karenanya, tidak jarang mereka mengorbankan hadits ahad yang bertentangan
dengan al Quran.
Argumentasi kelompok yang menjustifikasi pendekatan rasional ini adalahhadits
masyhur yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabar ketika dia diutus Nabi ke
Yaman.
Perseteruan antara ahl al-haditsdan ahl a-ra’yi
menjadi salah satu fenomena dikotomi antara ‘aql dan naql, antara falsafat dan
agama, atau antara taklid dan kreatifitas. Perselisihan antara ahl al-hadits
dan ahl a-ra’yi ini diwarnai dengan saling membenci dan saling
mencemooh anatara kelompok pertama dan kelompok kedua.
Dalam wacana fiqih, istilah ahl al-hadits merujuk pada
madzhab Hanbali, yang berpandangan bahwa segala hal harus dirujuk pada teks
yang ada, sedangkan kelompok ahl a-ra’yi mengacu pada madzhab Hanafi.
Dalam perkembangan lebih lanjut ahl al-ra’yi digolongkan sebagai
kelompok yang memiliki semangat pembaruan. Kelompok ini mengakui eksistensi
akal pikiran sebagai perangkat yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan
hukum dam etika. Sekalipun ahl al-Ra’yi mengakui eksistensi akal, namun
pemanfaatan akal tidaklah semaksimal
para filosof.Oleh karena rasionalitas ahl al-ra’yi dalam
penggunaan akal hanya sampai pada tahap justifikasi saja. Sekalipun demikian
kelompok ini dibanding ahl al-hadits lebih memiliki semangat pembaruan.
B.
Ketentuan
Dalam Memahami HaditsNabi
Dalam memahami hadits ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi
diantaranya yaitu:
1.
Memahami
As Hadits Sesuai Petunjuk Al Quran
Untuk dapat memhami as Hadits dengan pemahaman yang benar, jauh
dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk, maka kita haruslah
memahaminya sesuai dengan petunjuk al Quran, yaitu, dalam kerangka bimbingan llahi
yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Sesuai dengan surat Al-an’am
ayat 115:
ÙˆَتَÙ…َّتْ ÙƒَÙ„ِÙ…َØ©ُ رَبِّÙƒَ صِدْÙ‚ًا Ùˆَعَدْلا لا Ù…ُبَدِّÙ„َ
Ù„ِÙƒَÙ„ِÙ…َاتِÙ‡ِ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ السَّÙ…ِيعُ الْعَÙ„ِيمُ
Yang artinya: ”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Quran)
sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Jelaslah bahwa al Quranadalah ruh dari eksistensi islam, dan
merupakan asa bangunanaya, sedangkan hadits adalah penjelasan terinci tentang
isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun
penerapannya secara ptaktis. Itulah tugas Rasulullah SAW. ; “menjelaskan bagi manusia
apa yang diturunkan pada mereka”.
Oleh sebab itu tidaklah mungkin suatu yang merupakan pemberi
penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan itu sendiri. Maka
penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW selalu dan senantiasa berkisar diseputar
al Qurandan tidak mungkin akan melanggarnya.
2.
Menghimpun
Hadits-Hadits Yang Terjalin Dalam Tema Yang Sama
Untuk berhasil memahami hadits secara benar kita harus menghimpun hadits
shohih yang berkaitan dengan satu tema tertentu. Kemudian mengembalikan
kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak
dengan yang muqoyyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khosh.
Dengan cara itu dapatlah dimengetri maksudnya dengan lebih jelas dan tidak
dipertentangkan antara hadits satu dan lainnya.
3.
Penggabungan Atau Pentarjihan Antara Hadits-Hadits
Yang Bertentangan
Pada dasarnya nash-nashsyari’ah tidak mungkin saling
bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena
itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya tampak
dalam luarnya saja, bukan pada kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu
kita wajib menghilangkannya dengan jalan seperti berikut:
a.
Penggabungan
didahulukan sebagai pentarjihan.
Memahami hadits
dengan baik termasuk hal yang sangat penting,yaitu dengan cara menyesuaikan
antara berbagai hadits shohih yang redaksinya tampak solah-olah bertentangan,
demikian pula makna kandungannya yang tampak berbeda. Cara yang digunakan yaitu
dengan mengumpulkan semua hadits dan kemudian dinilai secara proporsional sehingga
dapat dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak
saling bertentangan.
b.
Naskh dalam hadits
Diantara persoalan kandungan hadits yang dianggap
saling bertentangan adalah persoalan naskh (penghapusan) atau adanya hadits
yang nasikh (yang menghapus suatu ketentuan) dan yang mansukh (yang
terhapus berklakunya). Persoalan naskh ini, ada hubungannya dengan
ilmu-ilmu al Quransebagaimana ada hubungannya juga dengan ilmu hadits, namun
dakwaan tentang adanya naskh dalam hadits tidak sebesar yang didakwahkan
didalam alquran. Apabila diteliti lebih jauh hadits-hadits yang diasumsikan
sebagai mansukh tidaklah demikian. Hal ini mengingat bahwa diantara hadits-hadits
ada yang dimaksudkan sebagai ‘azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun
secara berat), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai rukhsoh (peluang
untuk memilih yang lebih ringan pada suatu ketentuan). Dan karena itu, kedua-duanya
mengandung kadar ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya
masing-masing.
4.
Memahami Hadits Sesuai Dengan Latar Belakang, Sitiuasi Dan Kondisi
Serta Tujuannya
Untuk dapat memahami hadits nabi dapat dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadits,
atau terkait dengan suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam hadits
tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemilihan antara apa
yang bersifat khusus dan yang umum, yamg sementara dan abadi, serta antara yang
partikular dan yang universal yang masing-masing mempunyai hukum tersendiri.
Sesuai dengan kaidah “suatu hukum berjalan dengan
illahnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”, sehingga apabila kondisi
telah berubah dan tidak ada lagi ‘illah, maka hukum yang berkenaan dengan
suatu naskh akan gugur dengan sendirinya. Begitu pula hadits yang
berlandaskan suatu kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan melalui
perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan
bukan pengertian harfiahnya.
5.
Membedakan Antara Sarana Yang Berubah-Ubah Dan Tujuan Yang Tetap
Diantara penyebab kekacuan dan kekeliruan dalam
memahami haditsialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau
sasaran yang hendak dicapai oleh as sunnah denga pra-sarana temporer atau lokal
yang kadang kala menunjang pencapaian sasaran itu dituju. Mereka memusatkan
diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal ini merupakan hal yang
sebenarnya. Padahal, siapa saja yang berusaha benar-benar memahami haditsserta
rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting
adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yamg tetap dan abadi.
Sedangkan yang berupa prasarana adakalanya berubah dengan adanya perubahan
lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.
Setiap sarana
dan prasarana mungkin saja berubah dari suatu masa kemasa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke
lingkungan lainnya, bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu,
apabila suatu hadits menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu
hanyalah untuk menjelaskan suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan
mengikat kita dengannya, atau membekukan diri dengannya.
Bahkan sekiranya al Quransendiri menegaskan tentang
suatu sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu,
hal itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja dan tidak
memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya
waktu.
6.
Membedakan Antara Ungkapan Haqiqat Dan Majaz
Teks-teks hadits banyak sekkali yang menggunakan majaz
(kiasan atau metafora), sebab Rasul adalah orang arab yang menuasai balaghoh
(retorika). Rasul menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau
dengan sangat mengesankan. Adapun yang termasukmajaz adalah majaz
lughowi, ‘aqli, isti’aroh, kinayah dan berbagai ungkapanlainnya yang tidak
menunujukkan makna sebenarnya secara langsung tetapi hanya dapat dipahami
dengan pelbagai indikasi yang menyertainya baik yang bersifat tekstual ataupun
kontekstual.
Menurut Yusuf Al Qaradawi, pemahaman berdasarkan majaz
terkadang merupakan suatu keharusan, karena jika tidak, orang akan tergelincir
dalam kekeliruan. Untuk hadits yang tidak bisa dipahami secara tekstual, maka
bisa dilakukan ta’wil terhadapnya. Upaya ta’wil harus didukung
oleh suatu alasan kuat, jika tidak maka pena’wilan tersebut harus ditolak,
begitu juga pena’wilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahaman hadits yang hanya
sesuai dengan susunan lahiriahnya atau tekstualnya sajapunharus ditolak, jika
bertentangan denhgan konklusi akal yang jelas, atau hukum syari’ah yang benar,
atau pengetahuan yang pasti, atau kenyataan yang meyakinkan.
7.
Membedakan Antara Alam Gaib Dengan Alam Nyata
Diantara kandungan hadits, ada beberapa hal yang
berkaitan dengan alam gaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang
tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan ole
allah SWT untuk melakukan tugas tertentu. Seperti dalam surat al Mudatsir ayat
31:
ÙˆَÙ…َا ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ جُÙ†ُودَ رَبِّÙƒَ Ø¥ِلا Ù‡ُÙˆَ
Yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara
Tuhanmu melainkan Dia sendiri”.
Hal tersebut menjadi bahan pembicaraan al Quran. Namunhadits
yang mulia berbicara tentangnya (alam gaib) secara lebih luas, dengan
menguraikan secara terinciapa yang disebutkan al Qurandalam garis besarnya
saja.Seorang
muslim wajib menerima hadist-hadits shohih yang mengenai alam gaib ini dan
tidak dibenarkan menolaknya semata-mata karena menyimpang dari apa yang biasa
dialami, atau tidak sejalan dengan pengetahuan. Selama hal itu masih dalam batas
kemungkinana menurut akal, walaupun dianggap mustahil menurut kebiasaan. Sikap
yang benar yang diharuskan oleh logika keimanan dan tidak ditolak oleh logika
akal adalah mengatakan; “kami beriman dan percaya”, setiap kali dihadapkan
hal-hal gaib yang ditetapkan dalam agama.
8.
Memastikan Makna Dan
Konotasi Kata-Kata Dalam Hadits
Dalam memahami hadits dengan sebaik-baiknya penting
sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam
susunan kalimat hadits. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah
dari suatu masa ke masa lainnya. Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan
kata-kata tertentu untuk menunjuk pada makna-makna tertentu pula. Akan tetapi
yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut
yang digunakan dalam hadits (atau juga dalam al Quran) sesuai dengan istilah
mereka yang baru (atau yang hanya digunakan dikalangan mereka saja). Disini
akan timbul kerancuan dan kekeliruan.
C.
Metode
Kontemporer Pemahaman Hadits Nabi
a.
Metode pemahaman hadits menurut Muhammad al-ghazali
Menurut Muhammad al-Ghazali terdapat dua kriteria yang
berkaitan dengan matan, yaitu: (1) Matan hadits tidak syadz (2) matan hadits
tidak mengandung ‘illah qadihah. menurut
beliau, untuk mempraktikkan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu kerjasama
atau saling sapa antara muhadits dengan berbagai ahli di bidangnya, termasuk
fuqaha’, mufassir, ahli ushul fiqh, ahli kalam dan lain-lain, mengingat
materi hadits ada yang berkenaan dengan aqidah, ibadah, muamalah sehingga memerlukan
pengetahuan dari beragai ahli.
Muhammad
al-ghazali tidak memberikan penjelasan langkah-langkah konkrit yang berupa
tahapan-tahapan dalam memahami hadis nabi. Namun dari berbagai pernyataannya
dala buku Al Hadits Al Nabawiyyah Baina Ahl
Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, dapat ditarik
kesimpulan tentang tolok ukur yang diapakai Muhammad al-Ghazali dalam kritik
matan (otentisitas matan dan pemahamnan matan).
Secara garis besar metode yang digunakan oleh Muhammad
al-Ghazali ada 4 macam, yaitu:
1.
Pengujian dengan alQuran
2.
Pengujian dengan hadits
3.
Pengujian dengan fakta historis
4.
Pengujian dengan kebenaran ilmiah
Ke-empat pengujian tersebut tidak serta merta dapat
diterapkan secara penuh untuk semua matan hadits sehingga dapat
dikategorisasikan menjadi lima, yakni:
(1)
Pengujian dengan alQuran, hadits, fakta historis, dan kebenaran
ilmiah.
(2)
Pengujian dengan alQuran, fakta historis, dan kebenaran ilmiah.
(3)
Pengujian dengan hadits dan kebenaran ilmiah.
(4)
Pengujian dengan faktahistoris dan kebenaran ilmiah.
(5)
Pengujian dengan kebenaran ilmiah
b.
Metode pemahaman hadits menurut yusuf al qaradhawi
Menurut
Yusuf al Qaradhawi, hadits nabi mempunyai tiga karaktristik, yaitu komprehensif
(manhaj syumuli),
seimbang (manhaj mutawazin)
dan memudahkan (manhaj muyassar).
Ketiga karakteristik tersebut akan mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatuhadits.
Atas
dasar tersebut, maka ada tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan
hadits yaitu (1) penyimpangan kaum ekstrem yang berlebihan dalam urusan agama,
(2) manipulasi orang-orang sesat, (3) penafsiran orang-orang bodoh. Oleh sebab
itu, pemahamna yang tepat terhadap hadits adalah mengambil sikap moderat atauwasthiyyah yaitu tidak seperti jalan kelompok ekstrem,
kelompok sesat, dan kelompok bodoh.
Maka dari iu, dibutuhkan tiga prinsip dasar yang harus ditempuh ketika berinteraksi dengan hadits untuk
merealisasikan metode tengah-tengah, yaitu:
1.
Meneliti keshohihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan
oleh pakar hadis yang dapat dipercaya, baik sanad maupun matannya.
2.
Memahami hadits sesuai dengan pengertian bahasa dan asbab al
wurud teks hadits untuk menemukan makna suatu hadits yang sesungguhnya.
3.
Memastikan bahwa hadits yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash
lain yang lebih kuat.
Untuk melaksanakan
prinip-prinsip dasar diatas, maka Yusuf al qaradhawi mengemukakan delapan
kriteria dalam memahami hadits:
a)
Memahami hadits sesaui denagn petunjuk alQuran
b)
Menghimpun hadits-hadits yang setema
c)
Kompromi atau tarjih terhadap hadts-hadits yang kontradiktif
d)
Memahami hadits sesuai dengan latar belakang, situasi dan
kondisiserta tujuannya
e)
Mebedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
f)
Membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz
g)
Membedakan antar yang gaib dan yang nyata
h)
Memastikan makna kata-kata dalam hadits.
IV.
KESIMPULAN
Sejarah pemahaman hadis telah dimulai sejak zaman Nabi muhammad
SAW., bahkan dikalangan sahabat sendiri telah muncul beberapa sahabat yang
sangat kritis dalam menerimahadits diantaranya Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin
al-Khattab, Ali bin Abi Tholib dan lain-lain. Namun seiring perjalanan waktu,
dengan wafatnya Nabi, secara otomatis segala persoalan harus mereka tangani
sendiri dan kritik hadits pun mulai dilakukan secara intensif ketika umat islam
bergesekan dengan problem politik.
Dalam memahami hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yakni: (1 ) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadits
disebut dengan ahlu al hadits, tekstualis, (2) kelompok yang
mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada dibelakang teks
disebut ahl al-ra’yi, kontekstualis.
Muhammad al-Ghazali dalam memahami hadits menekankan akan perlunya kerjasama atau saling sapa antara muhadits dengan
berbagai ahli di bidanganyadikarenakan materi hadits yang juga berkenaan bidang
lainnya. Selain itu, beliau juga menawarkan beberapa metode pemahan hadits yang
dapat diterapkan sesuai kategori masing-masing.
Berdasarkan hadits nabi yang memiliki tiga
karakteristik untuk menunjang pemahamn hadits secara utuh, Yusuf al qaradhawi
juga memberikan konsep tentang metode pemahaman hadits guna membangun sikap wasthiyyah
agar terhindar dari kelompok ekstrem, kelompok sesat, dan kelompok bodoh.
Diantaranya yaitu, Memahami hadits sesuai dengan petunjuk alQuran, menghimpun hadits-hadits
yang setema, kompromi atau tarjih terhadap hadts-hadits yang kontrdiktif dan
lain sebagainya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini
kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam penyusunan
maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak.
Untuk itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan
dan evaluasi dari apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Al Karim
Fun Running #HitsWithoutViolence 2013